Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama 96 Tahun


KULIAHALISLAM.COM - Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) merupakan salah satu organisasi sosial keagamaan di Indonesia. Didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344/31 Januari 1926 di Surabaya atas prakarsa KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah. 

NU berakidah Islam menurut paham Ahlu sunnah wal jama’ah dan menganut mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali). 

Asasnya untuk memperjuangkan berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Ahlu sunnah wal jamaah dan menganut mazhab empat ditengah-tengah kehidupan di dalam wadah negara Indonesia yang berasaskan Pancasila. 

Sejarah Berdirinya NU (Nahdlatul Ulama)

Nahdlatul Ulama berdiri berkat perjuangan sejumlah Ulama yang memiliki wawasan keagamaan yang sama. Mereka adalah KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng, Jombang), KH Maksum dari Lasem, KH Ridwan dari Semarang. 

KH Nawawi dari Pasuruan, KH Nahrawi Muchtar dari Malang, KH Ridwan dari Surabaya, Kiai Abdullah Ubaid dari Surabaya, KH Alwi Abdul Aziz dari Semarang, KH Abdul Halim dari Cirebon, KH Doro Muntaha dari Madiun, KH Dahlan Abdulqahar, KH Abdulah Faqih dari Gresik.

KH Abdul Wahab dan KH Hasyim Asy’ari bertindak sebagai pemrakarsa. Kelahiran NU tidak terlepas dari adanya reaksi terhadap situasai umat Islam ketika itu. Pada permulaan abad ke-20 umat Islam mengalami kegoncangan akibat kekalahan Dinasti Turki Utsmani pada Perang Dunia I yang dipandang kejatuhan Dunia Islam.

Hal itu terjadi karena kekuasaan Sultan Turki Utsmani sebagai Khalifah umat Islam telah diakui keberadaannya oleh semua wilayah Islam, termasuk Indonesia. Kegoncangan umat Islam ini diperburuk lagi oleh Keputusan Majelis Nasional Agung Turki yang menghapuskan kekuasaan Sultan pada tahun 1922 di bawah kepemimpinan penguasa Turki yang baru dan dihapuskannya jabatan Khalifah tahun 1924.

Selanjutnya, pengikut gerakan Wahabi di bawah pimpinan Ibnu Sa’ud berhasil menguasai wilayah Hijaz, tempat beradanya kota Suci Makkah dan Madinah. Gerakan ini bertujuan memurnikan paham Tauhid umat Islam, telah memusnahkan semua yang dipandangnya menimbulkan bid’ah dan Khufarat (kesesatan) seperti bangunan di atas kuburan, kiswah (penutup Ka’bah).

Di samping menentang taklid kepada Imam-Imam mazhab dan menyeru untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah. Hal ini menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap umat Islam, termasuk umat Islam Indonesia terutama terhadap para Ulama yang kuat berpegang pada tradisi dan melestarikan ajaran bermazhab. 

Sebagai reaksi terhadap penghapusan Khilafah pada tahun 1924, Mesir memprakarsai diadakannya suatu kongres dengan mengundang wakil-wakil dari umat Islam sedunia, termasuk Indonesia. 

Menanggapi undangan itu, umat Islam di Indonesia mengadakan Kongres Al-Islam II di Surabaya pada tanggal 24 Oktober 1924. Hasilnya, terbentuk komite Khilafah sebagai delegasi yang mewakili Indonesia pada Kongres di Mesir. Delegasi terdiri atas Wondoamiseno (Sarekat Islam) sebagai Ketua dan KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai Wakil Ketua.  

Akan tetapi beberapa bulan kemudian pada Kongres Islam III yang diadakan di Surabaya tanggal 24-26 Desember 1924 mengubah susunan Delegasi yang telah ditetapkan sebelumnya menjadi tiga orang yaitu Soerjopranoto dari Sarekat Islam, KH Fachruddin dari Muhammadiyah dan KH Abdul Wahab Hasbullah.

Namun karena alasan keamanan, Kongres itu tidak jadi diadakan. Tidak beberapa lama kemudian datang pula undangan dari Raja Abdul Aziz ibn Sa’ud untuk menghadiri Kongres di Makkah. Yang diutus dari Indonesia adalah H. Omar Said Tjokroaminoto dari Sarekat Islam, KH Mas Mansur dari Muhammadiyah dan KH Abdul Wahab Hasbullah.

KH Abdul Wahab Hasbullah atas nama para Ulama yang teguh memegang pendapat mazhab mengemukakan usulan untuk di bawa dalam Kongres tersebut. Usulan tersebut diantaranya adalah memohon kepada Raja Abdul Aziz ibn Sa’ud agar kebiasaan agama yang telah menjadi tradisi seperti membangun kuburan, membaca doa, dan ajaram mazhab tetap dihormati.

Akan tetapi Kongres Al-Islam yang diadakan di Indonesia menolak usulan yang akan dibawa KH Abdul Wahab hasbullah dalam Kongres di Makkah. Pada akhirnya KH Abdul Wahab Hasbullah memutuskan keluar dari Kongres Al-Islam tersebut dan memutuskan membentuk komite sendiri yang dinamakan komite Hijaz. Komite inilah yang merupakan embrio kelahiran NU.

Komite Hijaz mengadakan rapat pertama tanggal 16 Radjab 1344 H/ 31 Januari 1926 yang kemudian dicatat sebagai hari lahirnya NU (Nahdlatul Ulama), bertempat di kediaman KH Abdul Wahab Hasbullah, Desa Kertopaten, Surabaya yang dihadiri sejumlah Ulama dari Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Ada dua putusan penting dalam rapat itu, yang pertama adalah mengirim delegasi ke Makkah untuk bertemu langsung dengan Raja Abdul Aziz ibn Sa’ud dan menyampaikan usul seperti yang diutarakan dalam Kongres Al-Islam. Delegasi ini terdiri atas KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Asnawi Kudus, yang karena ada suatu halangan digantikan oleh Syekh Ahmad Ghanaim.

Yang kedua, membentuk suatu jamiah untuk wadah persatuan Ulama dalam tugas memimpin umat menuju tercapainya ‘izzul-Islam wal Muslimin (Kejayaan Islam dan umatnya). Atas usul KH Alwi Abdul Aziz, jamiah itu bernama Jam’iah Nahdah al ‘Ulama. 

Organisasi ini kemudian mendapat pengakuan dari Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 06 Februari 1930.
Setelah NU berdiri, NU sudah puluhan kali melaksanakan Muktamar dan Muktamar yang pertama dilaksanakan tanggal 21-23 September 1926 di Surabaya. 

Kekuasaan tertinggi organisasi dipegang oleh Muktamar. Muktamar diadakan sekali dalam lima tahun untuk membicarakan dan merumuskan masalah-masalah keagamaan, pertanggungjawaban kebijaksanaan Pengurus Besar, Program dasar NU untuk jangka waktu lima tahun, masalah yang bertalian dengan umat, menetapkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dan memilih Pengurus Besar.

Lambang Nahdlatul Ulama (NU)

Lambang NU adalah sebuah gambar bola dunia, dilingkari tali simpul, dikelilingi sembilan bintang yaitu terletak melingkar di atas garis katulistiwa, satu diantaranya yang terbesar ditempatkan di bagian tengah atas, sedangkan empat bintang lainnya terletak melingkar di bawah katulistiwa, dengan tulisan “Nahdlatul Ulama” berhuruf Arab yang melintang dari sebelah kanan bola dunia ke sebelah kiri. 

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال