Pemikiran Politik Islam (Siyasah Syar'iyah) Ibnu Taimiyah


Konsep Politik Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Siyasah Syar'iyah 

KULIAHALISLAM.COM - Konsep politik Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Siyasah Syar'iyah. Konsep kekuasaan Islam merupakan sarana untuk mengimplementasi syariah. 

Namun selanjutnya, dalam sejarah pemerintahan Islam, Ulama dan Umara menggunakan qiyas dalam menghadapi dan mengatasi berbagai ragam masalah kontemporer yang timbul sejalan dengan perkembangan zaman. 

Dengan demikian, para pemegang kekuasaan dalam pemerintahan Islam adalah pemegang amanat Allah .

Ibnu Taimiyah

Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Abul Abbas Ahmad bin Abd al-Halim bin Abd al-Salam Abdullah bin Mohammad bin Taimiyah.

Ibnu Taimiyah lahir di Harran dekat Damaskus, Syria pada tahun 661 H atau 1263 M. Ayahnya adalah Abdu al-Halim merupakan Ulama terkemuka bermazhab Hambali.

Di Damaskus Ibnu Taimiyah belajar pada ayahnya sendiri, kemudian berguru pada Syekh Ali Zain al-Din al-Muqaddasi, Zainab binti Maki dan lainnya.

Pada usia 20 tahun, Ibnu Taimiyah mulai mempelajari fiqih Hambali, disamping mendalami ilmu Alqur’an, Hadis, dan Teologi pemegang amanat Allah.

Dr. Ali Sami An-Nasyar menyatakan bahwa, Ibnu Taimiyah hidup ditengah-tengah pergulatan seru dan berkepanjangan dengan segala dampak kemerosotan politik dan agama. 

Beliau mendapati kesucian dan kemulian akidah telah ternodai oleh percikan-percikan berbagai amalan bid’ah dalam agama, atau oleh mazhab ilmu kalam yang menyesatkan maupun kerancuan filsafat.

Beliau hidup dengan jiwa yang dipenuhi rasa keyakinan dan keimanan akan keagungan dan ketinggian Islam. 

Mulailah beliau menyusun saran-saran perjuangan yang cukup beragam, dari perjuangan untuk mengembalikan kaum muslimin pada akidah salafiyah, akidah firqah najiyah (golongan yang selamat) yakni akidah tauhid dalam hakikat yang tinggi.

Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah terkadang harus berjuang dengan menggunakan senjata dan kadang pula melalui pena. Salah satu perjuangan Ibnu Taimiyah melalui pena adalah ketika menulis buku berjudul “Siyasah Syar'iyah.

Siyasah Syar’iyah (Politik Islam) Ibnu Taimiyah

Siyasah Syar’iyah (Politik Islam) Ibnu Taimiyah

“Jika pemimpinnya rusak, niscaya rusak pula rakyat yang dipimpinnya”, demikianlah sebuah fenomena yang menyedihkan yang senantiasa menghantui pemikiran Ibnu Taimiyah. 

Fenomena inilah yang menurut Ibnu Taimiyah, penyebab utama kerusakan kaum Muslimin, terampasnya negara dan kehormatan mereka serta pendorong musuh-musuh Islam untuk menyerang kaum muslimin.

Setelah menganalisa beberapa buku politik yang beredar pada waktu itu, Ibnu Taimiyah mendapat realita bahwa beberapa diantaranya telah menyimpang jauh dari ruh Islam dan lebih menampakan warna politik Yunani, seperti kitab Siyasah al Madaniyah karya Filosof al-Farabi. 

Sedangkan yang lainnya agak mendekati ruh (semangat) Islam pada batas-batas tertentu saja, seperti kitab Siyasah al Mulk karya al-Mawardi.

Ibnu Taimiyah juga melihat adanya bentuk perundang-undangan bangsa Mongol yaitu El-Yasa (Yasu’a) yang diterapkan di kalangan elit penguasa. 

Selain itu Ibnu Taimiyah juga menyaksikan, penerapan sistem peradilan hukum yang bersumber pada tradisi dan rekayasa manusia yang telah menguasai lembaga-lembaga peradilan bangsa Arab.

Maka kehadiran buku yang berjudul asli “Syiasah Syar'iyah fii Ishladir Raa’i war Ra’iyyah” dengan gaya penulisan yang elegan sebagai upaya menetapkan batasan pemimpin, disamping juga memaparkan secara rinci hak-hak dan kewajiban rakyat yang sepenuhnya berdasarkan Alqur’an dan Sunnah Nabi.

Buku tersebut merupakan hukum politik Islam yang pertama di dunia Islam yang mengungkap semua sisi hubungan kemanusiaan, sekaligus mengarahkan kaum muslimin untuk meraih kekuatan dan kemuliaannya menuju umat yang mampu mengukir sejarah kebesarannya.

Penyebaran Risalah Siyasah Syar’iyah (Politik Islam) Ibnu Taimiyah

Risalah Siyasah Syar’iyah ini banyak diungkap para sejarawan yang intens mengikuti pemikiran Ibnu Taimiyah, khususnya oleh Ibnu Abdul Hadi (murid Ibnu Taimiyah) dalam kitabnya “Al-Kawakibud Durriyah fii Maqibisy Syaikh Ibnu Taiymiyah.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah juga menulis “Ath-Thuruqul Hakimah fii As-Syiasatiy Syar’iyah” yang mengungkap kebesaran tulisan Ibnu Taimiyah tersebut.

Kemudian, risalah itu diterjemahkan oleh Ulama Turki bernama Muhammad bin Ali al-Asyiq dan dipersembahkan kepada Sultan Sulaiman Khan. Risalah Syiasah Syar’iyah diterbitkan ulang oleh penerbit Darul Kutubil Mishiriyah, Kairo dengan menggunakan manuskrip asli.

Penyampaian Amanat Kepada yang Berhak dalam Siyasah Syar'iyah


Penyampaian Amanat Kepada yang Berhak dalam Siyasah Syar'iyah dalam Islam dan Tata Negara

Prof. Munawir Sjazali dalam bukunya “Islam dan Tata Negara” menyebutkan bahwa suatu hal yang menarik perhatian bahwa dalam bukunya itu Ibnu Taimiyah sedikit sekali berbicara tentang kepala negara dan sama sekali tidak menyinggung mekanisme pengangkatan kepala negara.

Bagian pertama buku itu langsung membicarakan perintah dalam ayat 58 Surat Al-Nisaa, agar para penguasa menyampaikan amanat, kepada yang berhak yang mempunyai dua macam manifestasi.

Pertama, dalam menunjukan dan pengangkatan pejabat-pejabat negara dan kedua, dalam pengelolaan kekayaan negara dan pengurusan serta perlindungan atas harta benda dan hak milik rakyat.

Kepala negara dihimbau untuk mempercayakan setiap urusan yang berkaitan dengan kepentingan rakyat kepada orang yang paling baik dari segi kepentingan rakyat. Dan pengelolaannya akan sempurna kalau dalam pengangkatan para pejabat negara memilih orang yang memiliki kecakapan dan kemampuan.

Selanjutnya, pengertian amanat Ibnu Taimiyah tidak sama dengan pengertian Imam Mawardi. Menurut Imam Mawardi, amanat lahir sebagai produk kontra sosial antara rakyat sebagai trustor dan kepala negara sebagai trustee

Menurut Ibnu Taimiyah, sesuai dengan sabda Nabi dan pernyataan Umar bin Khattab, kalau seorang kepala negara menyimpang dan mengangkat seseorang untuk suatu jabatan, sedangkan masih terdapat orang yang lebih cakap maka kepala negara tersebut telah berkhianat tidak saja terhadap rakyat yang dalam konsepsi Imam Mawardi sebagai trustor tetapi juga terhadap Allah dan Rasul.

Tetapi kalau tidak ada yang memiliki kecakapan maka kepala negara dibenarkan mengambil orang yang memiliki kekuatan dan integritas. Integritas maksudnya adalah ketakwaan kepada Allah yang utuh dan setia pada ajaran hukum Islami. 

Apabila tidak ada yang memiliki faktor tersebut maka kepala negara memilih berdasarkan pertimbangan mana di antara dua kualitas tersebut antara integritas atau kekuatan.

Konsep kepemimpinan dan kekuasaan Islam mensyaratkan, selain memiliki syarat moral dan intelektual, ada juga syarat kejujuran (amanah), kecakapan (quwwah), dan keadilan sebagai manifestasi kesalehan.

Selanjutnya, dalam hal kekayaan negara, Ibnu Taimiyah dalam “Siyasah Syar’iyah” menyatakan bahwa rakyat tidak dibenarkan menolak membayar segala kewajiban yang telah ditentukan oleh kepala negara. Tetapi sebaliknya, kepala negara harus membelanjakan dana yang diterima dari rakyat dan dari sumber-sumber lain secara baik sesuai petunjuk Alqur’an dan Sunnah.

Musyawarah dan Pemerintahan dalam Siyasah Syar'iyah

Musyawarah dan Pemerintahan dalam Siyasah Syar'iyah (Sumber Gambar : Kumparan.com)

Ibnu Taimiyah mengakhiri bukunya dengan uraian tentang pentingnya musyawarah dan tentang perlu adanya suatu pemerintahan. Dalam Q.S Al-Imran ayat 159, seorang kepala negara tidak boleh meninggalkan musyawarah. 

Apabila kepala negara bermusyawarah dan meminta pendapat para ahli, dia harus mengikuti pendapat mereka selama pendapat itu sejalan dengan Alqur’an, Sunnah Nabi dan konsensus antara umat Islam.

Ibnu Taimiyah mengatakan, bahwa mendirikan suatu pemerintahan untuk mengelola urusan umat merupakan kewajiban agama yang paling agung. 

Ibnu Taimiyah menyatakan, bahwa Allah memerintahkan amar ma’ruf nahi munkar dan misi tersebut tidak mungkin dilaksanakan tanpa kekuatan dan kekuasaan pemerintahan.

Sebagaimana Imam Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwa keberadaan kepala negara itu diperlukan tidak hanya sekadar menjamin keselamatan jiwa dan hak milik rakyat serta terpenuhinya kebutuhan meteri saja tetapi lebih dari itu untuk menjamin berlakunya perintah Allah.

Jihad Melawan Orang Kafir dalam  Syar'iyah

Jihad Melawan Orang Kafir dalam  Syar'iyah (Sumber Gambar : Republika.co.id)

Hukuman yang digariskan oleh syariat bagi yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya ada dua macam. Pertama adalah hukuman yang telah ditentukan baik dari segi yang terhukum atau jenis hukuman yang diterima. 

Kedua, adalah hukuman bagi kelompok pembangkang yang tidak mungkin dilakukan kecuali dengan memeranginya habis-habisan. Ini adalah jihad melawan orang kafir. Ibnu Taimiyah menyatakan, masalah jihad ini adalah bab yang amat luas sekali.

Jihad adalah suatu amal yang urgen karena manfaatnya menyeluruh bagi pelakunya dan bagi orang lain di dunia dan agama. Jihad mencakup cinta dan kasih sesama makhluk Allah, zuhud, ikhlas, tawakal, penyerahan harta dan jiwa, sabar, dzikrullah dan ibadah lainnya.

Dalam berjihad melawan musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya, Ibnu Taimiyah berpandangan tidak boleh nembunuh jiwa yang tidak diperkenankan oleh Allah seperti tua renta dan anak kecil.

Syariat mewajibkan untuk memerangi orang kafir yang memusuhi Islam tetapi tidak diwajibkan untuk membunuh mereka. Bahkan jika mereka memerangi Islam secara sembunyi-sembunyi dengan berbagai tipu daya maka sepenuhnya perkara itu diserakan kepada kepala negara untuk memutuskan sanksinya. 

MasyaAllah, ini terlihat jelas bahwa Ibnu Taimiyah bukan sosok yang ekstrem atau berbahaya seperti yang mereka tuduhkan.
Selanjutnya, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa, para ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) dan Majusi harus diperangi sampai mau masuk Islam atau mau membayar jizyah (pajak). 

Seandainya Ibnu Taimiyah sosok ekstrem maka Ibnu Taimiyah akan menyatakan semua ahli kitab wajib diperangi sampai mau masuk Islam. Dan ternyata tidak demikian.

Ibnu Taimiyah juga menyerukan jihad melawan kelompok Islam yang memberontak atau membangkang kepada pemerintahan dan syariat Islam. 

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan “Akan ada dua golongan dari umatku, maka akan keluar dari dalam keduanya kelompok yang keluar dari agama. Yang membunuh mereka adalah salah satu dari dua golongan yang lebih utama dalam kebenaran.”

Kelompok yang dimaksud adalah orang yang menghalalkan darah kaum muslimin selain mereka, memecah belah keutuhan umat Islam. Maka sesuai dengan petunjuk Alqur’an, Sunnah dan ‘ijma mereka harus diperangi walaupun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat.

Dinamika sebuah negara bagaikan mekanisme kerja organisme yang berlangsung secara fungsional, demikian Ibnu Taimiyah menekankan pentingnya kesatuan dan nilai tindakan kolektif (ummah). 

Dalam pengamatannya, sebuah negara tidak ditekankan pada kepentingan hak individu semata melainkan pada kewajiban masyarakat. Bukan pada pencapaian atau prestasi individu melainkan pada kerja sama. Namun demikian, lewat wacana siyasah syar’iyah ini, Ibnu Taimiyah tetap meletakan lembaga kepemimpinan sebagai posisi sentral negara.

Sumber : Ibnu Taimiyah dalam bukunya “Siyasah Syar’iyah” terbitan Risalah Gusti dan karya Prof. Munawir Sjadzali dalam tulisannya “Islam dan Tata Negara”, terbitan Universitas Indonesia.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال