Hak Manusia: Melindungi Eksistensi Kemanusiaan


(Sumber Gambar: Fitratul Akbar)
Oleh: Fitratul Akbar*

KULIAHALISLAM.COM - "Kita tidak bisa melakukan sesuatu sendiri, kita bisa melakukan semuanya dengan kolaborasi". Salah satu pandangan mengatakan, bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang mempunyai pikiran. Sebagai makhluk Tuhan, manusia mempunyai kedirian, artinya antara satu dengan orang lain secara tertentu mempunyai perbedaan-perbedaan.

Dengan demikian, manusia disebut makhluk individu, makhluk yang mempunyai pribadi, mempunyai aku. Manusia sebagai individu hidup bersama-sama dengan individu lainnya, manusia hidup dengan sesamanya. Inilah sebabnya manusia disebut makhluk sosial, makhluk yang hidup bermasyarakat. 

Manusia sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial tidak hidup secara naif saja (secara mantap seperti kambing, ayam, lembu dan sebagainya), tetapi manusia hidup menciptakan berbagai hal untuk mencukupi dan memudahkan serta mengenakkan hidupnya.

Misalnya, manusia membuat pakaian, rumah, kendaraan, buku-buku, bahkan manusia dapat membuat pesawat ruang angkasa ulak alik, komputer, yang semuanya itu disebut kebudayaan. Maka manusia disebut makhluk budaya. Manusia hidup menciptakan kebudayaan, manusia hidup membudaya.

Dari uraian ditas dapat disimpulkan bahwa, manusia adalah makhluk Tuhan, makhluk inidvidu, makhluk sosial dan makhluk budaya. Sebagai individu manusia terdiri atas jiwa dan raga. 

Manusia hidup didunia ini mempunyai ketergantungan, yakni tergantung kepada Tuhan yang maha esa, tergantung kepada alam dan tergantung kepada sesamanya. 

Pengakuan lain terhadap manusia ialah bahwa manusia mempunyai kemerdekaan, manusia mempunyai hak-hak asasi dan sekaligus hak asasi dalam konteks hidup bersama di dalam masyarakat.

Kedudukan Manusia

Manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara makhluk ciptaan Allah SWT seperti jin dan malaikat. Dikatakan makhluk yang sempurna karena manusia di karunia oleh Allah SWT berupa akal dan nafsu. Malaikat diciptakan dari cahaya, sedangkan jin diciptakan dari api. 

Allah SWT menciptakan malaikat agar senantiasa beribadah kepada-Nya. Malaikat selalu taat dan tidak pernah bermaksiat pada Allah. Sedangkan jin diberikan pilihan untuk taat atau bemaksiat pada Allah. Kebanyakan jin kufur kepada Allah, bahkan golongan jin yang kafir lebih banyak dari golongan manusia.

Manusia adalah makhluk sosial, karena manusia hidup bertetangga dengan manusia lainnya. Manusia tidak akan bisa dan susah hidup tanpa ada orang disekitar yang membantu ketika mengalami musibah. 

Berbicara mengenai manusia sebagai makhluk sosial. Manusia di ciptakan dengan berbagai macam agama, suku, ras dan kepercayaan. Maka manusia harus mampu hidup harmonis dengan segala perbedaan dan keberagaman.

Antropologi Alquran menyatakan bahwa manusia itu adalah diciptakan dari debu, tanah liat. Lalu Tuhan meniupkan ruh ke dalamnya. Artinya dalam diri manusia terdapat daya tarik yang mengajak ke bawah, yaitu ke debu, dan daya tarik lain yang mengajak ke atas, yaitu ruh. 

Dengan kata lain, dalam diri manusia terdapat daya tarik untuk melakukan perbuatan tidak baik, dan daya tarik lain untuk melakukan perbuatan baik.

Manusia yang dapat melaksanakan tugasnya sebagai wakil Tuhan adalah manusia “teomorfik” seperti istilah Ali Syariati, yaitu manusia yang didalamnya ada ruh dari Tuhan yang dapat mengalahkan separuh dari wujudnya yang berhubungan dengan iblis, tanah liat, dan endapan bercampur air. Ia dapat bebas dari kebimbangan dan kontradiksi antara “dua kemutlakan”, “ambillah sifat-sifat Allah”. 

Lebih lanjut, manusia, khalifah Tuhan di bumi, terjun ditengah-tengah alam dan dengan itu menjadi memahami Tuhan, ia mencari manusia dan dengan itu menemukan Tuhan. Ia tidak melewati alam semesta dan membelakangi umat manusia.(H.A.Mukti Ali, hal:76). 

Manusia memang makhluk berwajah ganda bahkan berwajah banyak atau multi dimensional. Ali Syariati, pemikir dan sosiolog muslim dari Iran, memposisikan manusia sebagai makhluk Tuhan di antara malaikat yang serba suci atau baik dengan iblis yang serba kotor atau buruk, dan disitulah letak ketegangan kreatif yang bersifat abadi antara tuntutan untuk berbuat baik atau buruk dalam manusia sepanjang hayatnya.

Manusia dan Agama

Agama Islam menuntun umat manusia menggunakan akalnya, sehingga tidak diperbudak oleh nafsu. Akalnya harus dipergunakan sebaik baiknya, sehingga diri manusia itu bisa terkendali, menghormati orang lain, mencintai dan mengasihi serta dapat menyadari diri sebagai hamba yang harus tunduk pada perintah Allah. 

Agama Islam memerintahkan kepada umat manusia untuk damai dimuka bumi dan menjadi umat bersaudara, tidak bermusuhan, tidak menumpahkan darah, tidak saling menghina dan mengejek.

Agar manusia hidup tak salah kaprah dan berjalan sekehendaknya tanpa kompas petunjuk hidup, maka agama mengajarkan arti (makna, hakikat) dan fungsi (misi dan tugas mulia) serta arah dan tujuan hidup. 

Agama mengajarkan kehidupan yang suci, yang benar, yang pantas, dan nilai-nilai adiluhung lainnya dalam kehidupan umat manusia. Agama juga mengajarkan bagaimana menghindarkan atau menyingkirkan hal-hal yang nista, yang jahat, yang buruk, yang keji, dan hal-hal mungkar lainnya dalam kehidupan manusia. 

Sehingga hidup manusia menjadi beradab, berakal-budi, dan berbudaya mulia sebagaimana layaknya perangai makhluk Tuhan yang unggul, bukan manusia yang rendah nista.

Jika ilmu pengetahuan mengajarkan kebenaran rasional dan empirik, ketika mengerjakan susila, dan seni mengajarkan keindahan, maka agama selain menyentuh dimensi-dimensi tersebut, hal yang terpenting mengajarkan makna dan tujuan hidup yang hakiki.

Manusia (individu) yang bangkit ditandai dengan tersalurnya nilai kemanusiaannya yang dilandasi oleh akal fikiran. Karena kemampuan mengekspresikan serta memfungsikan akal pikiran itulah yang membedakan manusia dari jenis makhluk yang lain. 

Apabila akal pikiran dijadikan landasan untuk merenungkan segala yang ada dan yang berkaitan dengan peri-kehidupan, maka akan lahir suatu aturan dan sistem kehidupan yang mampu meningkatkan serta menyempurnakan moral dan akhlak manusia.

Apabila manusia mampu memfungsikan akal pikirannya secara sehat, mengendalikan hawa nafsu dan mengontrol tabiatnya, maka dia akan mencapai tingkatan kehidupan dan peri kehidupan yang manusiawi. Dia dapat mencapai kemuliaan, harga diri, dan kepribadian yang tinggi. 

Segala inspirasi dan akal pikiran manusia haruslah bersumber dari petunjuk wahyu Allah penciptanya. Sebab jika tidak demikian maka kebangkitan itu akan tidak terkendali, atau akan jatuh kepada tingkatan kehidupan yang serendah-rendahnya atau kosong dari keluruhan budi dan kemuliaan akhlak.

Jika manusia hanya memperturutkan kecenderungan nafsu syahwatnya, maka keseimbangannya akan goyah, dan dia akan lebih berat kepada urusan duniawi atau jatuh tersungkur ke derajat hewan.

*)Penulis adalah Redaktur Pelaksana Kuliah Al-Islam.

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال