YAJUJ MAJUJ DALAM KONFLIK ISRAEL PALESTINA? (Bag. 1 Perjalanan berdirinya Israel)

 


Essai panjang ini berusaha menjelaskan secara gamblang tentang peristiwa ‘aneh’ bangsa Yahudi yang berhasil kembali ke kota mereka (bahkan sekarang ini mereka berhasil mendirikan sebuah Negara Israel lengkap dengan benderanya). Keanehan ini akan dijelaskan secara historis dan teologis. Penjelasan historis akan langsung diambil dari buku Charles D. Smith dalam bukunya "Palestine and Arab-Israeli Conflict”. Dan demi untuk menjelaskan keanehan ini, penulis juga akan menyajikan sebuah pandangan penafsiran Imran Nazar Hosein tentang berdirinya kembali negara Israel tersebut.

Penjelasan tafsir Imran Nazar Hosein atas konflik Israel-Palestina ini dipilih karena beliau adalah satu-satunya sarjana yang berhasil menjelaskan keanehan ini dari sudut pandang Historis dan teologis. Sudut pandang ini dijelaskan secara panjang lebar pula dalam bukunya, “Jerusalem in the Quran”. Namun sebelum lebih jauh, penulis terlebih dahulu akan menerangkan bagaimana sejarah terbuangnya bangsa Yahudi dari Palestina dan bagaimana Yahudi  bisa kembali . Dari titik tersebut kita akan benar-benar memahami peran-peran Yajuj-Majuj dalam konflik Israel Palestina.

SEJARAH TERBUANGNYA BANGSA YAHUDI DARI WILAYAH PALESTINA

Sejarah terbuangnya bangsa Yahudi dari wilayah Palestina telah mengalami perjalanan panjang dan kompleks. Charles D. Smith Israel membuktikan dengan pendekatan arkeologis bahwa Yahudi  telah hadir di Palestina sejak tahun 1000 SM, dengan Kerajaan Israel berdiri kuat dan berkuasa hingga sekitar tahun 800an SM. Namun, pada tahun 722 SM, kekuatan besar dari Kerajaan Assyria menaklukkan Kerajaan Israel, sehingga wilayah Palestina diduduki oleh Assyria, yang kemudian digantikan oleh penerus Assyria, yaitu Babylon.

Pada tahun 390 SM, Babylon jatuh ke tangan Mesir, dan pada masa ini, bangsa Israel ditawan dan diangkut ke Mesir sebagai budak, dalam suatu peristiwa yang tercatat dalam sejarah dan diceritakan dalam kisah Nabi Musa a.s. Wilayah Palestina dan bangsa Israel terus berganti tangan saat Mesir dikalahkan oleh Kerajaan Yunani pada tahun 322 SM, yang kemudian juga menawan bangsa Israel dan menjadikan mereka budak di Iskandaria (Alexandria).

Periode berikutnya adalah tahun 63 SM, ketika Roma mengalahkan Kerajaan Yunani, dan dengan demikian, wilayah Palestina dan bangsa Israel kembali tunduk di bawah kekuasaan Romawi. Israel mengalami pergolakan, dan pada tahun 60 SM, mereka tercerai berai dan tersebar ke berbagai bangsa. Hanya sedikit orang yang masih tinggal di wilayah Palestina saat itu.

Namun, seiring berlalunya waktu, kekuasaan atas Palestina pun beralih lagi. Pada tahun 683 M, Tentara Islam di bawah komando Salahuddin Ayyubi berhasil mengalahkan tentara salib Romawi dan menguasai Palestina. Kemenangan ini membuka babak baru bagi bangsa Yahudi dalam wilayah tersebut.

Selanjutnya, pada tahun 1099 hingga 1187, laskar jihadis Islam berhasil mengalahkan laskar salib dari Eropa yang mencoba merebut Palestina dari wilayah aslinya. Kemudian, wilayah Palestina dikuasai oleh Khalifah Ayyoubid dynasty dari tahun 1187 hingga 1250. Setelahnya, Palestina beralih ke tangan Khalifah Mameluke selama kurun waktu dari tahun 1250 hingga 1516.

Perubahan berikutnya terjadi pada tahun 1516, ketika wilayah Palestina jatuh ke tangan Kesultanan Utsmaniyah atau Ottoman. Selama lebih dari tiga ratus tahun, Palestina berada di bawah penguasaan Kesultanan Utsmaniyah. Lalu bagaimana bisa kekuasaan utsmaniyah atas wilayah Palestina itu bisa direnggut oleh Barat?

ISRAEL BERHASIL KEMBALI KE WILAYAH PALESTINA

Peristiwa sejarah yang menandai kembalinya Israel ke wilayah Palestina dimulai setelah keruntuhan Kesultanan Utsmaniyah oleh kekuatan Barat, khususnya Inggris dan Perancis. Pada tanggal 9 November 1917, deklarasi Balfour disiarkan melalui media massa. Deklarasi ini menyatakan dukungan Inggris untuk menjadikan wilayah Palestina sebagai kediaman nasional bagi bangsa Yahudi. Sebagai pemenang dalam Perang Dunia I, Inggris memberikan hadiah berupa tanah Palestina kepada bangsa Yahudi.

Pada bulan Juli 1937, Inggris membentuk Komisi Peel untuk mengevaluasi situasi di Palestina. Komisi Peel merekomendasikan untuk membagi wilayah Palestina menjadi tiga bagian: wilayah bagi bangsa Yahudi, wilayah bagi bangsa Arab, dan wilayah internasional. Namun, rencana pembagian ini ditolak oleh bangsa Arab, sehingga konflik antara bangsa Arab dan Israel semakin meruncing.

Sejak saat itu, wilayah Palestina menjadi medan pertempuran dan konflik yang berlarut-larut antara bangsa Arab dan Israel. Berbagai upaya perdamaian dilakukan, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ikut berperan dalam menginisiasi resolusi-resolusi untuk mencari solusi atas konflik tersebut.

RESOLUSI PBB 181

Pada tanggal 29 November 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi konflik 181, yang bertujuan untuk membagi wilayah Palestina menjadi tiga bagian, yaitu wilayah Yahudi-Palestina, wilayah Arab-Palestina, dan Yerusalem Timur di bawah pengawasan PBB. Keputusan pembagian ini diambil setelah voting yang melibatkan 56 negara anggota PBB.

Dalam proses voting, sebanyak 33 negara mendukung resolusi tersebut, sementara 13 negara menolaknya, dan 10 negara memilih untuk abstain atau tidak memberikan suara. Meskipun ada penolakan dari beberapa negara, mayoritas anggota PBB memberikan dukungannya untuk rencana pembagian wilayah Palestina.

Sebagai konsekuensi dari resolusi PBB 181, mandat Inggris atas Palestina berakhir dan pada tanggal 14 Mei 1948, negara Israel secara resmi memproklamirkan kemerdekaannya. PBB mengakui Israel sebagai negara Yahudi Palestina, meskipun keputusan ini ditolak oleh bangsa Arab yang merasa tidak puas dengan pembagian wilayah tersebut.

Pada tanggal 15 Mei 1948, Amerika Serikat mengakui Israel secara de facto, artinya AS mengakui kenyataan adanya negara Israel meskipun tanpa pengakuan resmi. Sementara itu, Rusia memberikan pengakuan secara de jure, yaitu pengakuan secara sah dan resmi atas keberadaan negara Israel.

Paska-proklamasi kemerdekaan, negara Israel segera dihadapkan pada tantangan dan konflik dengan negara-negara Arab di sekitarnya. Konflik bersenjata antara Israel dan negara-negara Arab meletus dalam apa yang dikenal sebagai Perang Arab-Israel 1948. Meskipun Israel berhasil mempertahankan kemerdekaannya, konflik di wilayah tersebut terus berlanjut dan bahkan semakin kompleks hingga saat ini.

Resolusi PBB 181 memegang peran penting dalam sejarah Israel dan konflik di wilayah Palestina. Keputusan pembagian wilayah ini telah membentuk lanskap politik dan sejarah yang rumit, yang terus mempengaruhi hubungan dan dinamika antara Israel, negara-negara Arab, dan komunitas internasional hingga hari ini. Termasuk berbagai perang yang dilancarkan oleh Bangsa Arab. Meskipun berbagai perang keroyokan itu tetap dimenangkan oleh Israel.

KEMENANGAN ZIONIS  SETELAH ISRAEL TERBENTUK

Kemerdekaan Israel pada tanggal 14 Mei 1948 membuka babak baru dalam sejarah wilayah Palestina yang sarat dengan konflik dan pertempuran. Namun, tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, negara-negara Arab seperti Irak, Suriah, Lebanon, Mesir, dan Yordania melanggar kesepakatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan menginvasi Israel yang baru saja terbentuk pada tanggal 15 Mei 1948. Konflik bersenjata yang meletus ini menghadirkan tantangan besar bagi Israel yang harus menghadapi serangan dari beberapa negara Arab sekaligus.

Namun, melalui perjuangan dan ketangguhan, Israel berhasil menghadapi invasi tersebut dan pada tanggal 11 Juni 1948, mereka berhasil mengalahkan pasukan-pasukan Arab yang berusaha menyusup ke wilayahnya. Gencatan senjata akhirnya tercapai berkat upaya PBB. Dalam perang ini, Israel berhasil menguasai Yerusalem Barat, sementara bagian timur Yerusalem jatuh ke tangan Yordania.

Namun, konflik belum berakhir. Pada tanggal 6 Juli 1948, Suriah dan Mesir kembali melakukan serangan bersama terhadap Israel. Israel berhasil mengatasi serangan tersebut dan pada tanggal 19 Juli 1948, mereka berhasil mengalahkan pasukan Suriah dan Mesir serta menguasai wilayah Galilea Barat.

Perang dan konflik di wilayah tersebut terus berlanjut hingga tahun 1949. Pada bulan Oktober hingga Desember 1948, Israel menginvasi wilayah Negev dan berhasil mengalahkan pasukan Yordania. Akhirnya, pada tahun 1949, gencatan senjata dicapai melalui upaya PBB, melibatkan Mesir, Yordania, Suriah, dan Lebanon.

Pada tahun 1956, konflik kembali pecah ketika Mesir menutup Terusan Suez bagi kapal-kapal Israel. Inggris, Perancis, dan Israel merespon dengan menggempur Mesir. Akhirnya, setelah intervensi dari Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet, Mesir setuju untuk membuka kembali Terusan Suez dan pasukan Inggris, Perancis, dan Israel menarik diri dari wilayah Mesir pada Maret 1957.

Tahun 1967 menjadi momen krusial dalam sejarah Israel dengan terjadinya Perang Enam Hari melawan Mesir, Suriah, dan Lebanon. Dalam perang ini, Israel berhasil mencapai kemenangan gemilang dan berhasil menguasai wilayah Yerusalem Timur, termasuk tempat-tempat suci bagi tiga agama besar: Islam, Kristen, dan Yahudi. Resolusi PBB 242 kemudian dikeluarkan untuk mencari solusi damai atas permasalahan wilayah ini.

Pada tanggal 6 Oktober 1973, terjadi Perang Yom Kippur antara Israel dengan Mesir dan Suriah. Meskipun Israel akhirnya meraih kemenangan, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa wilayah Sinai jatuh ke tangan Mesir, dan wilayah Golan Heights jatuh ke tangan Suriah. Resolusi PBB 338 kemudian menggarisbawahi pentingnya mencari perdamaian dan menyelesaikan konflik dengan jalan damai.

Pada tahun 1974, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Henry Kissinger, berupaya untuk mencapai kesepakatan damai. Ia meminta agar Israel, Suriah, dan Mesir menarik pasukannya masing-masing sebagai upaya untuk mencari titik temu dan mengakhiri ketegangan. Demikianlah kememangan demi kemenangan diraih oleh Israel. Dan sementara Kekalahan demi kekalahan bahkan kerugian justru dialami bangsa Arab. Semenjak saat itu, banyak sekali negara Arab yang kemudian mengakui negara Israel dan bahkan menjalin hubungan diplomatik.

KESEPAKATAN ISRAEL-ARAB

Perjalanan panjang menuju perdamaian antara Israel dan negara-negara Arab telah mengalami berbagai tantangan dan rintangan. Namun, pada tahun 1978, ada terobosan penting yang berhasil dicapai melalui Perjanjian Camp David. Kesepakatan ini menghasilkan dua kesepakatan yang mendasari langkah-langkah menuju perdamaian yang lebih luas di wilayah tersebut.

Kesepakatan pertama yang dicapai dalam Perjanjian Camp David adalah mengenai penentuan masa depan Tepi Barat dan Jalur Gaza. Dalam kesepakatan ini, wilayah-wilayah tersebut diatur untuk menjadi wilayah otonom penuh Palestina di bawah pengawasan Yordania. Kesepakatan ini bertujuan untuk memberikan otonomi bagi Palestina dan memberikan langkah awal menuju pendirian negara Palestina yang merdeka. Meskipun kesepakatan ini belum mencapai kemerdekaan sepenuhnya, ini merupakan langkah maju dalam mencari solusi bagi konflik antara Israel dan Palestina.

Kesepakatan kedua yang dicapai melalui Perjanjian Camp David adalah kesepakatan damai antara Israel dan Mesir. Kesepakatan ini mengatur pengembalian wilayah Sinai kepada Mesir sejak perang tahun 1967. Sebagai akibat dari perang tersebut, Israel berhasil menguasai wilayah Sinai dari Mesir. Namun, melalui perjanjian ini, wilayah Sinai diserahkan kembali kepada Mesir sebagai upaya untuk mencari solusi damai dan membangun hubungan harmonis antara dua negara.

Perjanjian Camp David menjadi titik balik dalam upaya mencari perdamaian di wilayah Timur Tengah. Perjanjian ini menunjukkan kemauan politik dari pihak-pihak yang terlibat untuk mencari solusi dan akhirnya mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Meskipun masih ada banyak tantangan dan ketegangan yang harus dihadapi dalam mencapai perdamaian yang langgeng di wilayah tersebut, Perjanjian Camp David memberikan harapan baru bagi masa depan yang lebih damai bagi Israel dan negara-negara Arab di sekitarnya.

Seiring berjalannya waktu, proses perdamaian terus berlanjut dan mencakup berbagai perjanjian dan inisiatif lainnya. Perjanjian Camp David membuka pintu bagi upaya-upaya selanjutnya untuk mencari solusi damai dalam mengatasi konflik di wilayah Timur Tengah. Meskipun masih ada banyak perbedaan dan permasalahan yang harus diatasi, kesepakatan-kesepakatan ini menunjukkan bahwa dialog dan negosiasi dapat menjadi jalan menuju perdamaian yang langgeng dan adil bagi semua pihak yang terlibat. Dengan semangat kerjasama dan komitmen untuk mencari solusi, harapan perdamaian di wilayah tersebut terus menggelora.

HUBUNGAN DIPLOMATIK ARAB-ISRAEL

Hubungan diplomatik antara negara-negara Arab dan Israel telah mengalami perkembangan yang signifikan sepanjang sejarah, dari awal berdirinya negara Israel hingga masa kini. Meskipun sempat berada di tengah-tengah ketegangan dan konflik, beberapa negara Arab akhirnya menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.

Pada tahun 1949, Israel menjalin hubungan diplomatik dengan Turki. Turki menjadi salah satu negara pertama di dunia Muslim yang mengakui eksistensi negara Israel. Meskipun sempat mengalami ketegangan dan permasalahan, hubungan diplomatik antara Israel dan Turki terus berkembang dan menjadi penting dalam geopolitik regional.

Pada tanggal 28 Februari 1980, Mesir mengambil langkah bersejarah dengan mengakui negara Israel dan menjalin hubungan diplomatik resmi. Ini merupakan momen penting dalam upaya perdamaian di wilayah Timur Tengah, mengingat sebelumnya Mesir pernah menjadi salah satu negara Arab yang terlibat dalam perang dengan Israel.

 

Kemudian, pada tahun 1994, giliran Yordania yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Perjanjian perdamaian Israel-Yordania menandai hubungan yang lebih dekat antara kedua negara setelah bertahun-tahun berada di sisi berseberangan dalam konflik.

Pada tanggal 13 Agustus 2020, Uni Emirat Arab (UEA) menandatangani perjanjian sejarah dengan Israel untuk menjalin hubungan diplomatik resmi. Ini merupakan kesepakatan yang mengejutkan dan signifikan, karena UEA menjadi negara Arab keempat yang secara resmi mengakui Israel. Kesepakatan ini mencerminkan perubahan dinamika dalam politik dan diplomasi regional di Timur Tengah.

Tidak lama setelah itu, pada tanggal 18 Oktober 2020, negara Arab kelima, Bahrain, juga mengumumkan perjanjian untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Keputusan Bahrain ini merupakan langkah berani dan penting dalam membuka jalan bagi kerjasama lebih lanjut antara kedua negara.

Terakhir, pada tanggal 10 Desember 2020, Maroko mengumumkan rencana untuk menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Keputusan ini menandai peningkatan hubungan dan kolaborasi antara kedua negara. Berbagai perkembangan hubungan diplomatik Arab-Israel ini menunjukkan bahwa ada dinamika dan perubahan dalam politik regional di Timur Tengah. Meskipun konflik dan ketegangan tetap ada, hal ini ditandai dengan berdirinya PLO (Palestina Liberation Organization). Berdirinya PLO ini menandai lahirnya sebuah partai yang berusaha membebaskan Palestina, yaitu Hamas.


LAHIRNYA HAMAS

Setelah Yaser Arafat, pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), mengakui keberadaan Israel dan merundingkan perdamaian, terjadi perpecahan di dalam gerakan PLO itu sendiri. Fraksi radikal yang masih menolak keberadaan Israel memisahkan diri dari PLO dan mendirikan gerakan terpisah yang dikenal dengan nama HAMAS.

Pada suatu waktu, PLO di bawah pimpinan Yaser Arafat mengajukan proposal untuk mendapatkan pengakuan resmi Palestina dan menyetujui keberadaan Israel. Proposal ini menunjukkan niat baik dari PLO untuk mencari perdamaian dan mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Namun, seiring perjalanan waktu, paham dan pandangan berbeda mulai muncul di dalam PLO.

Pada bulan Desember 1988, sekelompok Yahudi Amerika mengadakan pertemuan dengan pejabat tinggi PLO di Stockholm untuk mendorong terciptanya hubungan baik antara Amerika Serikat dan PLO. Pertemuan ini menjadi momen penting dalam upaya membangun komunikasi dan dialog antara PLO dan negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat. Meskipun belum mencapai hubungan diplomatik formal, pertemuan ini membuka jalan bagi komunikasi lebih lanjut antara kedua belah pihak.

Namun, di sisi lain, pada bulan Februari 1988, terjadi peristiwa yang menjadi titik awal kelahiran HAMAS. HAMAS terbentuk sebagai representasi Islamic Jihad yang masih menolak keberadaan Israel. Gerakan ini memandang perundingan dan pengakuan PLO terhadap Israel sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina. HAMAS mengusung pandangan bahwa Israel harus dihapuskan dan seluruh wilayah Palestina harus dikuasai oleh bangsa Palestina.

Dengan terbentuknya HAMAS, perpecahan di dalam gerakan perjuangan Palestina semakin mendalam. Fraksi ini mencari dukungan dan simpati dari kelompok-kelompok radikal lainnya di dunia Islam yang masih menentang keberadaan Israel. Konflik internal antara PLO yang menerima perdamaian dan HAMAS yang menolak keberadaan Israel, semakin mempersulit upaya mencari solusi damai bagi konflik di wilayah Palestina.

Lahirnya HAMAS menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi dinamika politik di wilayah Palestina dan mempengaruhi hubungan dengan negara-negara lain. Perjuangan dan perbedaan pandangan antara PLO dan HAMAS terus berlanjut hingga saat ini, dan peran HAMAS dalam konflik Palestina-Israel menjadi salah satu isu sentral dalam upaya mencari perdamaian di wilayah tersebut. Meskipun tantangan masih besar, harapan untuk perdamaian yang berkelanjutan tetap menjadi tujuan utama bagi masyarakat di wilayah Palestina dan seluruh dunia.

Demikianlah, konflikyang awalnya antara Islam dan Barat, lalu antara Israel Arab dan kini malah PLO dan HAMAS (sesama internal Islam sendiri). Bersambung ke bagian ke 2, penjelasan tafsir Imran Nazar Hosein.

 






 

 

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال