Sejarah Gerakan Islam dan Ajaran Tarekat Muhammad bin Muhammad Naqsyabandi

Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Husayni Al-Uwaysi Al-Bukhari/Syekh Bahauddin Naqsyabandi (Sumber gambar: Alif.ID)

KULIAHALISLAM.COM - Muhammad bin Muhammad Bahauddin Al-Uwaisi Al-Bukhari Naqsyabandi, lahir di Hinduwan atau Arifan, Bukhara, Uzbekistan, 717-791 H/1317-1391 M. Syekh Muhammad Bahauddin Naqsyabandi merupakan seorang tokoh Sufi dan pendiri Tarekat Naqsyabandiyah yang terkenal dan memiliki banyak pengikut di Dunia Islam.

Syekh Muhammad Bahauddin Naqsyabandi merupakan seorang tokoh yang sangat pandai melukis kehidupan yang ghaib-ghaib kepada para pengikutnya sehingga beliau dikenal dengan nama Naqsyabandi (lukisan). Selain itu, ia mempunyai hubungan keluarga dengan Uwais Al-Qarani. Adapun kata Al-Bukhari pada namanya, karena ia lahir dan wafat di kota Bukhara.

Syekh Muhammad Bahauddin Naqsyabandi rajin menuntut ilmu dan senang menekuni tasawuf. Ia belajar Tasawuf pada Muhammad Baba As-Sammasi, seorang Wali besar di Bukhara. Sebelum Muhammad Baba As-Sammasi wafat, ia mengangkat Naqsyabandi sebagai Khalifahnya. 

Khalifah disitu maksudnya adalah pengganti, jadi salah besar orang yang anti Khalifah menganggap Khalifah itu hanya sebatas kepemimpinan Islam dalam sebuah negara Islam yang bersifat universal. Khalifah itu bukan hanya arti sempit sebatas konteks Daulah.

Selanjutnya, setelah Syekh Muhammad Bahauddin Naqsyabandi diangkat sebagai Khalifah, ia pergi ke Samarkand dan setelah itu pulang ke Bukhara. Naqsyabandi belajar ilmu tarekat kepada Amir Sayyid Kulal Al Bukhari (wafat 772 H/1371 H). Amir Kulal merupakan salah seorang Khalifah Muhammad Baba As-Sammasi. 

Muhammad Baba As-Sammasi menerima ilmu tarekat dari Azizan Ali ar-Ramitani (wafat 705 H), dari Mahmud Anjir Faghnawi dari Arif Riwghari dari Abu Khaliq Gujdawani, dari Abu Ya’kub Yusuf al-Hamadani, dari Abu Fadl bin Muhammad at-Tusi al-Farmadi, dari Abu Hasan Ali bin Ja’far al-Kharqani dari Abu Yazid al Bistami dari Imam Ja'far As Sadiq dari Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq menerimanya dari Nabi Muhammad SAW. Rasulullah sendiri mengambil tarekat (zikir) tersebut dari Jibril yang menerimanya dari Allah SWT.

Meskipun tersusun rapi dari Naqsyabandi sampai kepada Rasulullah SAW, silsilah tersebut tidak terlepas dari kritik karena beberapa nama dalam silsilah itu ternyata tidak saling berjumpa secara fisik. Abu Yazid Al-Busthami tidak berjumpa dengan Imam Ja’far As-Sadiq karena Abu Yazid Al-Busthami lahir sekitar 40 tahun wafatnya Imam Ja’far As-Sadiq.

Kenyataan dan fakta sejarah ini diakui pengikut Tarekat Naqsyabandiyah tetapi bagi mereka itu bukanlah sebuah masalah. Menurut mereka, Tarekat (zikir) itu diterima melalui pertemuan rohani Imam Ja’far As-Sadiq dengan Abu Yazid Al-Busthami. Bagi kalangan pengikut tarekat, penerimaan suatu zikir tidak mesti melalui perjumpaan fisik.

Meskipun Naqsyabandi belajar tasawuf dari Muhammad Baba As-Samasi dan tarekat yang diperolehnya dari Amir Kulal juga berasal dari As-Samasi, namun tarekat Naqsyabandiyah tidak pernah sama dengan tarekat As-Samasi. Zikir tarekat Muhammad Baba As-Samasi diucapkan dengan suara keras, sementara Tarekat Naqsyabandiyah lebih menyukai zikir tanpa suara.

Zikir Naqsyabandiyah sama dengan zikir tarekat Abdul Khaliq Ghujdawani (wafat 1220 M). Menurut riwayat, Abdul Khaliq Ghujdawani mengamalkan pendidikan Uwais Al-Qarani. Karena itulah tasawuf Naqsyabandi menyerupai sistem tasawuf Uwais Al-Qarani.

Di dalam perjalanan hidupnya, Naqsyabandi pernah bekerja untuk Sultan Khalil, penguasa Samarkand. Samarkand memperoleh kemajuan dan makmur pada masa pemerintahan Sultan Khalil. Kemajuan yang dicapai pemerintahan Samarkand dipuji oleh Ibnu Batutah dalam karya sejarahnya. Semua kemajuan yang dicapai oleh Kesultanan ini tidak lepas dari peranan Naqsyabandi.

Setelah Sultan Khalil wafat, Naqsyabandi meninggalkan Samarkand. Ia memilih menetap di Khurasan selama 7 tahun. Kemudian ia kembali ke Bukhara dan wafat di sana. Pencatatan segala perbuatan dan amalnya dilakukan dengan baik oleh Salah bin Al-Mubarak, salah seorang muridnya yang setia. Himpunan tersebut dimuat dalam sebuah karya berjudul “Maqamat Sayyidina Syah Naqsyaband.”

Tarekat Naqsyabandiyah

Tarekat Naqsyabandiyah dibina atas enam hal pokok yaitu tobat, uzlah (pengasingan diri dari manusia ramai), zuhud, takwa, kanaah (merasa cukup), dan taslim (berserah diri). Adapun rukun Tarekat Naqsyabandiyah ada enam yaitu berilmu pengetahuan tentang segala yang berhubungan dengan agama, hilm (penyantun, lapang hati, tidak mudah marah yang bukan kerena Allah), sabar, rela terhadap segala sesuatu yang ditakdirkan Allah, ikhlas dalam setiap amal dan perbuatan yang dilakukan, dan berakhlak yang baik.

Di samping itu, dalam Tarekat Naqsyabandiyah, ada enam yang dijadikan pegangan yaitu makrifat kepada Allah yaitu mengenal Allah dengan segala sifat-sifat-Nya, yakin kepada Allah, sakha yaitu pemurah sehingga hatinya suka memberikan separuh dari hartanya untuk Allah, selalu benar dalam setiap perkatan dan perbuatan, syukur yaitu selalu berterima kasih kepada Allah dalam keadaan apa pun, dan tafakur yaitu memikirkan segala apa yang diciptakan Allah.

Dalam Tarekat ini juga ada enam kewajiban yang harus dikerjakan yaitu zikir kepada Allah, meninggalkan kehendak hawa nafsu, meninggalkan segala perhiasan dunia dalam bentuk apa pun, melakukan ajaran agama dengan sunguh-sunguh, ihsan atau berbuat baik terdapat mahluk, mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik dan meninggalkan hal-hal yang jahat.

Penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di Dunia Islam

Pusat perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah pertama kali di daerah Asia Tengah. Ketika Tarekat ini dipimpin Nasaruddin Ubaidullah Ahrar (1404-1490 M), hampir seluruh Asia Tengah dikuasai Tarekat Naqsyabandiyah. Di India, Tarekat Naqsyabandiyah berkembang pada masa pemerintahan Dinasti Mughal.

Di Indonesia, penyebaran tarekat ini tersebar melalui pelajar Indonesia yang belajar di Makkah. Pada abad ke-19 di Makkah terdapat pusat Tarekat Naqsyabandiyah di bawah pimpinan Sulaiman Effendi. Markas tarekat ini berada di kaki Gunung Abu Qubais (Jabal Abu Qubais). Namun di Indonesia, Tarekat ini ada dua versi yaitu Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah dan Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah.

Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah bersumber dari Syekh Ismail Al-Khalidi di Minangkabau dan Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah bersumber dari Sayid Muhammad Saleh Az-Zawawi. Keduanya hidup sezaman. Penyebaran Tarekat dari Syekh Muhammad Saleh Az-Zawawi menyentuh dunia internasional dan muridnya sangat banyak.

Selain itu, di Indonesia dikenal pula Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang didirikan Syekh Ahmad Khatib Sambasi (wafat di Makkah 1875 M). Ia seorang Ulama besar yang mengajar di Masjidil Haram dan muridnya yang terkenal adalah Syekh Nawawi Al-Bantani. 

Tarekat ini berkembang pesat di Jawa bahkan sampai ke Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Di Jawa, ada lima organisasi Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang terletak di lima Pesantren besar yaitu Pesantren Pegentongan di Bogor, Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya, Pesantren Mranggen di Semarang, Pesantren Rejosa di Jombang, dan Pesantren Tebuireng, Jombang.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال