Pentingnya Budaya Kritik di Dunia Kampus

Fathan Faris Saputro Pentingnya Budaya Kritik di Dunia Kampus, aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Lamongan  

KULIAHALISLAM.COM - Kata kritik menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia pendidikan tinggi. Karena kritik menjadi bagian penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan. 

Tanpa kritik mustahil ada dinamisasi dan akselerasi ilmu pengetahuan, tanpa kritik sulit bagi institusi pendidikan tinggi untuk berkembang karena tidak ada mekanisme check and balance

Pengembangan kritik dalam dunia kampus berarti mengembangkan kapasitas berpikir civitas akademika. Jika kritik sudah membudaya dalam kehidupan kampus, maka kemungkinan menjadikan pendidikan sebagai media pembentukan masyarakat kampus yang kritis, inovatif, dan dinamis, sebagaimana yang diamanatkan UU PT No. 12 Tahun 2012 Pasal 4 poin b, dapat terwujud. 

Tapi jika yang dikembangkan di kampus adalah budaya akademik yang instan, praktis dan pragmatis maka kampus hanya akan melahirkan culture of silence.

Dalam Pusaran Pragmatisme

Saat ini tengah terjadi pertarungan kepentingan antar Ideologi dalam pendidikan tinggi dan ini merupakan contoh kongkret bagaimana pendidikan itu tidak netral atau politis. 

Kontestasi yang dimaksud adalah antara pendidikan tinggi yang berbasiskan pada nilai-nilai akademik dan yang berbasiskan pada nilai-nilai korporasi. Maka nilai akademik adalah niai etis-utopis, sedangkan nilai korporasi adalah nilai praktis pragmatis. 

Tarik menarik kepentingan ideologi dalam pendidikan sesungguhnya merupakaan tarik menarik antara idealisme dan pragmatisme. 

Di satu sisi, pendidikan punya peran dalam membentuk kehidupan publik, dan bahkan pernyataan yang lebih tepat tidak sekadar memberi afirmasi atas peran pendidikan dalam kehidupan publik, tapi justru pertanyaan “Kehidupan publik seperti apa yang hendak dibentuk oleh dunia Pendidikan ? 

Pendidikan diyakini memainkan peranan signifikan dalam membentuk kehidupan politik dan kultural. Pendidikan adalah media untuk menyiapkan dan melegitimasi bentuk-bentuk tertentu kehidupan sosial. 

Jika hal seperti ini yang dikedepankan, maka yang menjadi  basis institusi pendidikan adalah nilai-nilai idealisme. Maka dunia pendidikan akan terseret dan didikte oleh kepentingan pasar. Ideologi pasar jelas berbeda dengan ideologi pendidikan. 

Ideologi pendidikan lebih mementingkan nilai-nilai etis humanistik, sedangkan ideologi pasar lebih bertumpu pada nilai-nilai pragmatis-materialistik dan menekankan kompetisi dibanding koperasi. 

Ketika ideologi pasar yang dominan maka pendidikan telah direduksi hanya sebatas penguasaan teknik-teknik dasar yang diperlukan dalam dunia kerja. 

Berarti civitas akademika diarahkan untuk bersikap adaptif dan pasif terhadap perubahan yang ada, tanpa perlu terlibat dalam proses penciptaan sejarah atau menjadi subyek sejarah. 

Uniformitas berarti masyarakat kampus diarahkan untuk berpikir tunggak dan seragam dalam melihat persoalan, tidak keluar dari kotak habitus sendiri. 

Rasionalitas teknokratik memiliki kontribusi dalam mendegradasi kesadaran histori-kritis civitas akademika dengan cara mengeser ide tentang perkembangan di mereka yang bersifat moral dan etis dengan hanya menekankan pada perkembangan diri yang bersifat teknis-material (Henry A Girouxx, 1993).

Pendidikan Anti Realitas

Saat ini dunia pendidikan nasional dihadapkan pada fenomena yang disebut oleh Musa Asy’arie (2005) dengan “pendidikan sekolah anti realitas.” Apa yang dimaksud dengan pendidikan anti realitas adalah pendidikan yang tidak berbasis pada kebutuhan dan realitas kehidupan masyarakat luas. 

Misalnya, sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris yang berbasiskan pada pertanian dan perkebunan. Namun ironisnya, Indonesia belum mampu mengembangkan budaya pertanian dan perkebunan  yang baik dan produktif melalui pendidikan. 

Akibatnya, Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negri sendiri, dan untuk menutupinya harus impor dari luas seperti beras, buah-buahan, kedelai, dan bahkan garam. Karena tidak adanya political will dari pemerintah untuk mengembangkan pertanian dan perkebunan maka profesi petani menjadi profesi yang sama sekali tidak diimpikan oleh mayoritas masyarakat Indonesia. 

Hampir tidak ada anak Indonesia saat ini  yang bercita-cita menjadi petani, padahal mayoritas warganya hidup dalam wilayah agraris. Fakultas pertanian pun menjadi  fakultas yang sepi peminat. Ini menunjukkan adanya gap antara pendidikan dan realitas.

Pendidikan yang anti realitas tidak berpijak di bumi. Teori-teori yang diajarkan di sekolahan dan perguruan tinggi tidak mencerminkan apa  yang terjadi dalam kehidupan peserta didik. 

Sebabnya teori-teori yang diajarkan adalah teori-teori yang dikonstruksi di ruang dan tempat yang berbeda. Teori-teori ini berasal dari belahan bumi yang lain. Jika tidak dilakukan kontektualisasi, maka teori-teori tersebut menjadi kurang bermakna bagi kehidupan peserta didik. 

Apalagi teori tidaklah netral atau free value. Tragisnya, apapun teori yang diajarkan dalam pendidikan kita adakah  teori a-historis, tidak berbasis pada konteks lokal. Sehingga relevansi dan signifikansinya terhadap kehidupan peserta didik patut dipertanyakan.

Saat ini memang ada kecenderungan pendidikan tinggi di Indonesia lebih menjadikan mahasiswa sebagai konsumen ilmu, teori, atau konsep, dari pada produsen. 

Mereka tidak diajak untuk merefleksi bagaimana seorang pakar di bidang  tertentu menemukan atau melahirkan sebuah teori, atau diajak untuk mengkritisi atau mendemitilogisasi ideologi di balik teori, padahal di balik teori selalu ada nilai dan ideologi (Fransisco Hardi Budiman, 2004).

Ini menandakan bahwa proses pendidikan dan pengajaran di pendidikan tinggi baru sebatas pada tahap penerimaan teori, konsep, dan pengetahuan. Ini adalah tahap yang paling dasar. 

Tahap kedua di atasnya adalah critical reflection of theory, yaitu tahap kritisme bagaimana menyingkap bias-bias ideologi di balik teori ke dalam konteks lokal, sejauh mana teori yang dikonstruksi pada ruang dan waktu yang berbeda dapat diterapkan dalam ruang sosial kita. 

Tahap yang paling tinggi adalah theoritical production, bagaimana memproduksi teori berbasiskan pada konteks lokal. Selain miskin dalam melahirkan teori, pertanyaan lain yang perlu diajukan adalah sejauh mana signifikasi pendidikan tinggi terhadap realitas sosial? 

Pertanyaan ini penting untuk diungkap karena kontribusi pendidikan tinggi terhadap perubahan sosial memang perlu dipertanyakan. Sudah ribuan skripsi, tesis dan disertasi dilahirkan perguruan tinggi, tapi sejauh mana signifikasi penelitian-penelitian akademik ilmiah tersebut memiliki dampak yang tidak begitu signifikan terhadap perubahan sosial.

Karena kemungkinan paradigma penelitian yang digunakan lebih banyak didominasi oleh paradigma penelitian positivistik dan hermenuitik. Tujuan penelitian positivistik adalah memahami tingkah laku manusia berbasiskan pada prinsip-prinsip ilmu alam. 

Sedangkan tujuan penelitian hermenuitik adalah memahami dan menafsirkan tingkah laku manusia melalui penafsiran terhadap pengalaman hidup mereka.

Back to Pancasila

Oleh karena itu, perlu mengembalikan nalar kritik kampus pendidikan tinggi dengan cara keluar dari lingkaran kekuasaan dominasi pragmatisme, dan kembali ke dasar falsafah pendidikan nasional yaitu Pancasila, yang didalamnya terdapat muatan spiritualitas, humanisme, kesatuan dalam keragaman, demokrasi dan keadilan. 

Jika nilai-nilai ini menjadi pondasi dasar pendidikan tinggi, maka peluang untuk mempertahankan nalar kritis-nya menjadi terjaga. Pancasila memang secara normatif menjadi basis falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Pendidikan nasional pun juga di dasarkan pada falsafah ini. Namun pada tingkatan praksis, yang dominan justru bukan falsafah Pancasilnya tapi ideologi lain yang berbasis pada kapitalisme-neoliberalisme yang bertumpu pada ideologi kompetisi dan nilai-nilai korporasi.

**

Tugas pendidikan tinggi adalah memberikan  pencerahan terhadap civitas akademika dan masyarakat luas. Eksistensi perguruan tinggi tidak boleh di menara gading yang tidak terjamah oleh masyarakat luas. 

School is a mirror of society. Ketika pendidikan tinggi jauh dari masyarakat maka pendidikan tinggi menjadi anti realitas, tercabut dari akar sosial peserta didik. Pendidikan anti realitass merupakan dampak sistematis dari dominasinya ideologi pragmatisme dalam pendidikan. 

Dalam pusaran pragmatisme, civitas akademika digiring untuk berpikir praktik, instan, dan pragmatis. Mereka semakin dijauhkan dari pemikiran-pemikiran falsafah yang mengasah akal budi dan membuat kritis terhadap teks dan konteks. Di  sinilah perlu untuk mengembalikan budaya akademik kampus yang berbasis pada rasionalitas teknokratik menuju ada rasionalitas kritis.

Penulis: Fathan Faris Saputro (Founder Rumah Baca Api Literasi)

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

1 Comments

  1. Sekarang ini untuk kritis di medsos sangat riskan, apalagi jika mengkritik kebijakan penguasa.

    ReplyDelete
Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال