Muhammadiyah dalam Catatan Alwi Shihab Putra Mahkota Studi-Studi Islam di Indonesia

Alwi Shihab, Najwa Shihab, Quraish Shihab (Gambar : Instagram @NajwaShihab)

KULIAHALISLAM.COM - Prof. Alwi Abdurrahman Shihab lahir 19 Agustus 1946 merupakan intelektual muslim Indonesia.  Alwi Shihab mengambil gelar sarjananya di bidang akidah-filsafat di IAIN Ujung Pandang dan gelar master dari Universitas Al-Azhar, Mesir. 

Pada tahun 1990, Ia meraih gelar Doktor bidang Filsafat dari Universitas ‘Ain Shams, Mesir. Pada tahun 1995, Ia meraih gelar Doktor di Universitas Temple, Amerika Serikat dengan Disertasi mengenai Muhammadiyah (terjemahannya telah diterbitkan oleh Mizan). 

Antara tahun 1995-1996, Prof. Alwi Shihab mengikuti program pascadoktoral di Pusat Studi Agama-Agama di Dunia di Universitas Harvard. Prof. Alwi Shihab juga tercatat pengajar agama Islam di Hartford Seminary. Prof. Nurcholish Madjid menjuluki saudara kandung Prof. Muhammad Quraish Shihab ini sebagai “Putra mahkota studi-studi Islam di Indonesia”. 

Prof. Alwi Shihab pernah menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat . Ia juga pernah menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia tahun 1999 sampai 2001.

Muhammadiyah dan Pembaharuan Islam Indonesia

Islam inklusif Dr. Alwi Shihab

Menurut catatan Alwi Shihab dalam bukunya berjudul Islam Inklusif, dijelaskan bahwa dalam situasi krisis nilai-nilai spiritual yang dialami oleh dunia dan dalam suasana umat Islam dihadapkan pada erosi keagamaan sampai hampir kehilangan moral dan intelektual karena tidak pandai berdialog dengan Alqur’an dan Sunnah, Muhammadiyah tampil sebagai jawaban. 

Muhammadiyah, sebagaimana gerakan-gerakan pembaharuan Islam lainnya, berupaya mencari pemecahan persoalan-persoalan kehidupan yang kompleks dengan menyerukan kembali kepada sumber ajaran yang otentik yakni tuntunan Alqur’an dan Sunnah.

Muhammadiyah lahir untuk mengkoreksi persepsi dan anggapan keliru bahwa Islam adalah agama yang tidak mampu berfungsi secara efektif dalam mengatasi problem kehidupan manusia, dan telah gagal memberi alternatif yang menarik bagi perjalanan sejarah.

Untuk mengoreksi persepsi keliru ini, Muhammadiyah menyatakan bahwa merosotnya pamor Islam terletak pada dangkalnya pemahaman umat Islam terhadap ajarannya. 

Islam dengan kata lain, telah menjelma menjadi agama yang disalahpahami sebagaimana yang dikatakan Sayyid Qutb, atau sebagaimana diperingatkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan sabdanya bahwa pada suatu saat Islam akan menjadi asing dan tidak dikenal orang apabila kita tidak senantiasa memperkenalkannya kembali.

Secara garis besar, prinsip dasar kaum pembaharu Islam termasuk organisasi Muhammadiyah yaitu seruan untuk kembali kepada Alqur’an dengan menekankan otoritas mutlak Alqur’an dan Sunnah dalam menentukan substansi ajaran baik yang bersifat akidah maupun dalam praktisnya, selanjutnya adalah upaya untuk melakukan reinterpretasi ajaran-ajaran Islam melalui pemahaman-pemahaman baru sesuai dengan tuntutan dunia modern.

Maka tugas Muhammadiyah yang belum rampung adalah merumuskan ajaran-ajaran Islam secara komprehensif dengan menawarkan pemikiran-pemikiran Islami yang mampu mengimbangi pemikiran-pemikiran sekuler yang berkembang dalam masyarakat modern. 

Adalah kewajiban Muhammadiyah untuk mengaktualisasikan diktum yang selama ini menjadi bahan ucapan atau wirid umat Islam, bahwa Islam tidak akan ditindas arus sejarah sebab Islam Shalihun Likulli Zamanin Wa makan (Islam akan tetap jaya karena ia dapat diterapkan kapan saja dan di mana saja).

Apa yang telah dicapai oleh Muhammadiyah saat ini merupakan prestasi yang spektakuler. Khusus di bidang pendidikan, kehadiran banyak Perguruan Tinggi lembaga ini membuktikan komitmen Muhammadiyah untuk mencerdaskan bangsa. 

Namun disamping itu, Muhammadiyah masih tetap dituntut untuk menghasilkan produk-produk pemikiran Islam yang orisinil untuk menjawab berbagai persoalan. Untuk tujuan ini, kader-kader pemimpin Muhammadiyah harus dipersiapkan secara cermat untuk membekali diri dengan ilmu-ilmu agama di satu pihak dan ilmu-ilmu sosial di pihak lain.

Jika Muhammadiyah bertekad untuk memproduksi kader-kader handal dan potensial secara intelektual yang mampu merumuskan ajaran Islam secara komprehensif maka pendalam ilmu-ilmu keislaman, teristimewa ilmu-ilmu Alqur’an dan Sunnah menjadi suatu hal yang imperatif.

Jika Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan berketetapan hati untuk mempertahankan posisinya secara substansial sebagai agen reformisme yang mampu merumuskan pemikiran-pemikiran Islam yang bermutu tidak boleh tidak, ia harus sanggup untuk melahirkan Kiai-Kiai modern yang menguasai dan menghayati ilmu-ilmu Keislaman dari sumbernya yang utama dan otentik.

Penguasaan ilmu-ilmu Keislaman ini membutuhkan penguasaan bahasa Arab sebagai sarana ampuh untuk menekuni, menganalisis dan meramu khasanah intelektual Islam yang maha kaya lagi berharga, sementara pengertian modern adalah Kiai tersebut harus bersifat terbuka dan peka terhadap lingkungan, tidak mengisolasi diri pada lingkungan Islam semata, mampu menyerap segi positif peradaban lain untuk tidak bersikap absolut.

Perpaduan antara sifat serta keahlian seorang Kiai dan seorang berpikiran modern pada diri kader Muhammadiyah merupakan syarat untuk menciptakan seorang yang mampu menangkap pesan-pesan Alqur’an dan Sunnah bagi kehidupan umat manusia.

Kombinasi serasi tersebut akan menampilkan sosok seorang Muslim yang dapat memahami secara tajam dan jelas tuntunan Ilahi, lalu menterjemahkannya dalam dunia empiris agar nilai-nilai praktisnya dapat dirasakan oleh segenap manusia.

Karenanya, agenda pembaharuan kepemimpinan Muhammadiyah, sebagaimana disinyalir Prof. Amien Rais adalah menciptakan sosok Muslim yang memiliki kombinasi harmonis antara tradisi keulamaan dan sifat intelektualisme. 

Melalui peralatan ilmu dan wawasan Keislaman yang kokoh, Insya Allah akan tampil dipermukaan mujtahid-mujtahid ampuh dari kalangan Muhammadiyah.

Pelajaran Berharga dari K .H Ahmad Dahlan dalam Catatan Alwi Shihab

K.H Ahamd Dahlan Pendiri Muhammadiyah Gambar : epesantren.co.id

Gerakan Muhammadiyah secara resmi didirikan pada tahun 1912 oleh K.H Ahmad Dahlan. Beliau dilahirkan dalam sebuah keluarga yang saleh dan tinggal dalam atmosfer religius yang kental. 

Beliau mendapat pendidikan agama di Makkah, di sana pula ia bertemu dengan  tulisan-tulisan pembaharu Muslim Al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh dari Mesir.

Gerakan Muhammadiyah berkontribusi terhadap bangkitnya generasi baru Muslim Indonesia. Sebagai salah satu organisasi Islam modern di Indonesia, Muhammadiyah telah menjadi subjek banyak kajian oleh para pengamat Indonesia dan asing. 

Selain itu, perhatian utama Muhammadiyah adalah penyebaran agama sebagai gerakan dakwah yang meliputi seluruh aktivitas sosial, pendidikan, ekonomi serta politik.

Muhammadiyah dipandang sebagai salah satu unsur penting dalam proses perubahan sosial-politik di Indonesia. Tak kalah pentingnya adalah peran besar Muhammadiyah dalam menentang rembesan misi Keristen, khusunya selama masa penjajahan.

Sebagai seorang yang memiliki ilmu agama yang memadai, baik di dalam negeri maupun di pusat studi Islam di Makkah, Kiai Ahmad Dahlan memulai perjuangan melawan apa yang dipandangnya sebagai praktik yang bertentangan dengan ajaran agama. 

Kiai Ahmad Dahlan bertekad untuk mengajukan konsep dan gagasannya secara halus. Pemikirannya lebih menyangkut hal-hal yang subtansif dengan tujuan yang jauh lebih penting ketimbang sekadar isu-isu ritual formalistik.

Hal yang menjadi perhatian utamanya adalah menyangkut kehidupan religius, ketidakefisienan pendidikan agama, aktivitas Misionaris Kristen dan sikap tidak peduli bahkan anti agama dari kaum cerdik pandai. 

Dengan keperibadian Kiai Ahmad Dahlan yang menyenangkan dan bersahabat, landasan dasar Muhammadiyah diletakan dengan sukses. Tidak berlebihan, jika dikatakan bahwa salah satu pelajaran yang paling penting dari kepemimpinan Kiai Ahmad Dahlan adalah komitmen kuatnya kepada sikap moderat dan toleransi beragama.

Tidak seorang pun yang dapat menyangkal bahwa selama kepemimpinan Kiai Ahmad Dahlan dapat terlihat adanya kerja sama kreatif dan harmonis dengan hampir semua kelompok masyarakat, bahkan dengan rekan Kristennya, Kiai Ahmad Dahlan mampu mengilhami rasa hormat dan kekaguman.

Muhammadiyah di bawah pimpinan Kiai Ahmad Dahlan menegaskan niatnya untuk bersaing dengan misi Kristen dengan menerapkan cara-cara modern  yang sama seperti yang digunakan kaum Kristen dalam menegakan berbagai lembaga. Kiai Ahmad Dahlan berinisiatif untuk bersaing dengan Kristen dengan mendirikan berbagai sekolah, santunan Yatim, Klinik, dan lembaga sosial lainnya.

Pelajaran penting lainnya yang harus diambil dari pengalaman Kiai Ahmad Dahlan oleh para pemimpin baru dalam gerakan ini adalah perubahan-perubahan tidak dapat dilakukan dalam sekejap. 

Kesabaran, pengertian dan persuasi serta sikap modern merupakan kunci-kunci untuk mendapatkan kepercayaan dan keyakinan orang. Sebaliknya, konfortasi, pengejekan dan sikap-sikap impulsif hanya akan menyulitkan mencapai tujuan yang diinginkan. 

Oleh karena itu, menurut saya (Alwi Shihab), cara pendekatan Kiai Ahmad Dahlan yang bersahabat dan perlahan-lahan, bukannya protes terbuka yang harus mewarnai watak organisasi ini. Dan yang lebih penting, semangat toleransi Kiai Ahmad Dahlan bahkan pada keadaan yang paling sulit pun mesti menjadi ciri gerakan Muhammadiyah. 

Sumber : Alwi Shihab. Islam Inklusif, terbitan Mizan.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

1 Comments

  1. Sudah ratusan malah jutaan mencetak intelek Namun belum mampu jadi Teh.. Mewarnai bangsa indonesia.. Kenapa?

    ReplyDelete
Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال