Negara NU : Ikhtiar Memahami Akar Tradisi Dakwah Wali Songo Sebagai Model

KULIAHALISLAM.COM - Ikhlas saja tak cukup. Sebab perjuangan juga butuh dokumen. Bukan hanya sejarah Kemenag yang belok arah. Tapi juga banyak sejarah para ulama dan pejuang hilang tak berbekas. Karena alasan ikhlas. Jangankan orang lain, kader sendiri saja banyak yang tak paham. 

Islam Nusantara Untuk Peradaban Indonesia dan Dunia (Sumber gambar : NuOnline)

Pernyataan kontroversi Menteri Yaqut sungguh menyentak, menyadarkan betapa sejarah menjadi amat penting— bukan hanya sekadar dokumen tapi ini soal kebanggaan dan daya tawar.

Dokumen saja juga tak cukup apalagi yang tidak berdokumen — sejarah butuh narasi sebab itu berdirinya Kemenag dibutuhkan tidak sekadar dokumen yang dikenang tapi butuh legitimasi. NU sedang melakukan itu : klaim bahwa: ‘Kemenag adalah hadiah negara buat NU’. Ini bukan narasi sejarah tapi legitimasi sejarah.

Tidak saja Kemenag, bahkan bisa saja ke depan NKRI adalah NU. Gagasan ini menarik ditengah ada banyak kelompok-kelompok Islam yang melawan rezim dan ingin mengganti bentuk negara, maka NU hadir membela, meyakinkan berdiri paling depan kepada publik bahwa NKRI adalah harga mati. 

NU sedang bicara tentang realitas negara di mana ia ikut berjuang dan mendirikan. Tidak larut dalam arus harapan absurd tentang bentuk negara, Khilafah adalah soal cita-cita dan harapan entah kapan— bagi NU yang ada saja kita nikmati, khilafah soal nanti. 

Hari santri adalah keberhasilan lain. Masuk dan membuat para birokrat sarungan dan mengenakan atribut santri itu sungguh menarik — saya teringat bagaimana model dakwah para Wali Songo meng-Islamkan orang nusantara utamanya Jawa dengan cara efektif meski dengan banyak catatan. Tradisi santri meski baru simbol masuk ke wilayah-wilayah sensitif itu luar biasa. 

Ketika yang lain sibuk mereaksi dan menjawab soal-soal absurd tentang rezim, utang negara, kooptasi asing, NU terus bekerja keras mengisi kemerdekaan dengan berbenah di ruang publik, masuk ke wilayah kekuasaan dan jantungnya. Persis seperti yang dilakukan Kiai Ahmad Dahlan di awal berdiri. 

Jadi Benarkah Ki Bagoes Hadikoesoemo yang menghapus tujuh kata pada sila pertama Pancasila ? Jika iya, seberapa besar peran dan urgennya — bukankah pada waktu yang sama juga ada aktor lain yang tak kalah penting : Ir. Soekarno dan Kiai Wahid Hasyim.

Sampai disini butuh legitimasi agar sejarah diakui —bukan menjadi kisah yang timbul tenggelam di kalangan sendiri. Sejarah memang banyak perspektif bergantung siapa yang menulis, sebab itu tulislah sejarahmu sendiri, jangan biarkan orang lain yang menulisnya. ‘My History’ kata Philip K. Hitti sejarawan kuno yang tulisannya masih menawan. 

NU memang punya tradisi bagus untuk mengenang sejarah yang telah pergi meski banyak dibid’ahkan karena mengandung kultus kata mereka yang tak suka — tapi maslahat menjadi pertimbangan utama. Maulid, Haul dan perayaan-perayaan hari-hari besar Islam tidak dilihat dari perspektif hitam putih ada dalil atau tidak— tapi menjadi media paling ampuh untuk melakukan bargaining dan menguasai tempat-tempat publik.

Jadi benarkah amal yang ditulis itu riya ? Mengenang sejarah yang telah pergi itu kultus ? Mengakui perjuangan itu tidak ikhlas ? Tapi kenapa ‘gelo’ saat perjuangan tak diakui ? Sebab siapapun kita pasti butuh pengakuan dan sedikit pujian untuk menambah energi amal dan itu manusiawi — Wallahu Alam

Oleh : Ustaz Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال