Bid'ah, Aswaja & Salafi di Masyarakat Islam Nusantara (1)

(Sumber gambar : dokumen pribadi penulis) 


KULIAHALISLAM.COM – Aswaja adalah istilah yang sangat masyhur di kalangan umat Islam Indonesia, yaitu singkatan dari Ahlu Sunnah wal Jamaah.

Adapun Aswaja sebagai ajaran adalah suatu mazhab dalam berakidah tauhid, dan bersyariat ibadah maupun muamalah, serta berakhlak sopan santun yang merupakan pelestarian dari ajaran Rasulullah SAW, sesuai pemahaman para sahabat serta pemahaman para ulama Salaf.

Adapun yang dimaksud mazhab adalah jalan yang dilewati/dilalui atau tata cara untuk dijadikan pegangan atau sesuatu yang menjadi tujuan seseorang. Sesuatu itu dikatakan mazhab jika dapat menjadi ciri khas bagi penganutnya.

Jadi mazhab Aswaja adalah pilihan seseorang untuk menjalani tata cara beragama Islam sesuai dengan ciri khas Aswaja sebagaimana yang disepakati oleh para ulama.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haqq, juz 1, hal. 80 mendefinisikan Aswaja sebagai berikut; 

Yang dimaksudkan dengan Sunnah adalah apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau). 

Sedangkan yang dimaksudkan dengan pengertian Jamaah adalah sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW pada masa empat Al- Khulafa Al-Rasyidin yang telah diberi hidayah oleh Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda: Ketahuilah bahwa orang-orang sebelum kalian dari ahli kitab itu terpecah menjadi 72 golongan, sedangkan umat(ku) ini akan terpecah menjadi 73 golongan, dan yang 72 golongan itu akan masuk neraka, sedangkan yang 1 golongan akan masuk surga, yaitu Aljamaah. (HR. Abu Dawud dan lainnya, dan dishahihkan oleh Imam Hakim, Imam Assyathibi dan Imam Al-Iraqi).

Dalam hadis riwayat Imam At Tirmidzi disebutkan, mereka (para shahabat) bertanya: Siapa (yang selamat) itu wahai Rasulullah ?. Beliau Rasulullah menjawab: Yaitu golongan yang mengikuti aku dan para sahabatku

Dari Abdullah bin Umar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umatku kepada kebatilan (kesesatan), dan (kekuasaan/keberkahan dari) Allah itu (diberikan) kepada jamaah. Barangsiapa yang terpisah (dari golongan mayoritas), maka akan perpisah (atau tersesat) ke neraka (HR. At Tirmidzi).

Secara praktek di lapangan, akidah Aswaja dewasa ini mempunyai ciri khas yang dapat membedakan dengan golongan lain, yaitu di dalam bermazhab fikih ibadah dan muamalah selalu beristiqamah mengikuti salah satu empat mazhab fikih mutabar, yaitu mazhab Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii dan Imam Hambali. Yang mana ke-empat Imam ini hidup antara tahun 80 H hingga 241 H.

Ajaran ke-empat imam mujtahid mutlaq dalam berfikih inilah yang disepakati oleh para ulama dunia, sebagai ciri khas mazhab Aswaja, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali.

Dengan demikian, jika ada pihak-pihak yang menolak untuk mengikuti salah satu dari ke-empat mazhab ini, atau berusaha menambah mazhab ke-lima, semisal kelompok yang mengklaim sebagai mazhab Ja'fari (kelompok Syiah Imamiyah Jakfariyah Khomeiniyah), maka sudah dapat dipastikan jika mereka itu bukan termasuk warga Aswaja.

Dengan batasan empat mazhab ini pula, maka Aswaja secara otomatis akan menolak kelompok-kelompok yang tidak bermazhab, sekalipun mereka menamakan diri sebagai kelompok yang berpegang teguh dengan Alquran dan Assunnah, semisal beberapa cabang dari kelompok Salafi, atau kaum liberal yang hanya mengandalkan akal pikirannya saja karena mengikuti metode kaum orientalis Barat.

Sedangkan khusus untuk umat Islam yang berdomisili di Asia Tenggara (wilayah Nusantara), maka mayoritas warga Aswaja lebih berpegangan kepada ajaran fikih menurut mazhab Syafii, baik dalam tata cara beramal ibadah kepada Allah, tata cara bermuamalah dengan sesama manusia, maupun dalam menyampaikan dakwah Islamiyah di tengah masyarakat.

Aswaja di dalam berakidah tauhid, selalu istiqamah mengikuti mazhab Asy'ariyah yang dirintis oleh Imam Abu Hasan al-Asyari (260 / 330 H) dan mazhab Maturidiyah yang dirintis oleh Imam Abu Mansur al-Maturidi (238 / 333 H) sebagai landasan berpijak.

Untuk lebih mudah diingat adalah akidah yang mengajarkan 20 sifat wajib bagi Allah, 20 sifat mustahil bagi Allah, dan 1 sifat jaiz bagi Allah. Serta mengajarkan 4 sifat wajib bagi Rasul, 4 sifat mustahil bagi Rasul, dan 1 sifat jaiz bagi Rasul.

Dengan demikian, Aswaja menolak ajaran Trilogi Tauhid ala Salafi yang mengajarkan Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah dan Tauhid Asma was Shifat. Termasuk ciri khas mazhab Aswaja yaitu bertumpu pada Alquran, Hadis, Ijma, dan Qiyas.

Dalam mensitir ayat atau hadis yang akan dijadikan argumentasi, maka warga Aswaja melakukannya secara bertahap, sebagaimana yang selalu diterapkan oleh Imam Asy'ari. Yaitu mengambil makna dhahir dari nash (teks Alquran dan Hadis), namun dengan sangat berhati-hati serta tidak menolak penakwilan terhadap nash tersebut, sebab memang ada nash-nash tertentu yang memiliki pengertian sama, namun tidak dapat diambil dari makna dhahirnya, tetapi harus ditakwilkan untuk mengetahui pengertian yang dimaksud.

Aswaja juga tidak menolak penggunaan akal, karena Allah menganjurkan agar umat Islam selalu melakukan kajian rasional.

Pada prinsipnya warga Aswaja tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang dilakukan kaum mu'tazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan menempatkan akal di dalam naql (teks agama).

Jadi Aswaja itu menjadikan akal dan naql itu saling membutuhkan dan melengkapi. Naql bagaikan matahari sedangkan akal laksana mata yang sehat, dengan akal kita akan bisa meneguhkan naql dalam membela Islam.

Dalam ajaran Aswaja juga diperkenalkan Ilmu tasawuf, yaitu ilmu akhlak yang mengajarkan tata cara serta adab sopan santun beribadah kepada Allah serta tata cara dan adab sopan santun dalam bermasyarakat, hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia

Adapun warga Aswaja bersepakat mengikuti ilmu tasawuf berbasis syariat sebagaimana yang diajarkan oleh para ulama Sufi seperti mazhab Imam Junaid al Baghdadi, (210-298 H). Beliau sangat masyhur sebagai penggagas utama teori tasawuf berbasis syariat, beliau mengatakan: Pengetahuan kami ini terikat dengan Alquran dan Assunnah (sumber: Ithaf al-Dhaki. Oman Fathurrahman, 256).

Serta mengikuti tasawuf Imam Al-Ghazali (450-505 H), pengarang kitab Ihya Ulumuddin. Termasuk juga mengikuti ajaran Syekh Abdul Qadir al Jailani (470-561 H), pengarang kitab Alghunyah. Serta mengikuti ajaran Alhabib Abdullah bin Alwi Alhaddad (1044-1132 H) pengarang kitab Nashaihud Diniyah, sekaligus mengikuti para pemuka Sufi lainnya, yang senafas dengan teori Imam Junaid al Baghdadi.

Tasawuf Aswaja itu adalah tasawuf berdasarkan syariat dan secara berjenjang sampai pada tingkat ma'rifat billah. Jadi syariah dan tasawuf Aswaja itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena corak tasawuf ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

(1) Ajarannya menekankan aspek pembinaan akhlak yang terpuji dalam hubungan antara manusia dan Tuhan maupun dalam hubungan antar sesama manusia dan lingkungannya.

(2). Ajarannya diselaraskan sepenuhnya dengan ilmu syariat.

(3). Ajarannya tidak mengandung syathahat yang dipandang telah menyimpang dari ajaran Islam menurut para ulama syariat.

(4). Ajarannya berdasarkan penafsiran dan pemahaman ajaran Islam yang dekat dengan bunyi teks Alquran dan Hadis.

(5) Dalam ajaran tasawuf Aswaja masih terlihat jelas perbedaan antara abid dan mabud serta khaliq dan makhluk, sehingga tidak terdapat unsur-unsur syirik baik dalam akidah maupun dalam ibadah.

Keyakinan inilah yang pada akhirnya dilestarikan oleh KH. Hasyim Asy'ari dan para pendiri NU lainnya, sehingga Aswaja dengan pemahaman ini sudah menjadi trade merk bagi akidah warga NU yang tidak dapat diganggu gugat.

Pada hakikatnya ajaran tasawuf berbasis syariat inilah yang sesuai dengan ajaran para Walisongo sebagai penyebar agama Islam pertama kali di wilayah Nusantara yang wajib dilestarikan oleh segenap warga Aswaja .

Saat ini sudah ada pihak-pihak yang berusaha membuat definisi Aswaja gaya baru, dengan cara membongkar-pasang definisi Aswaja yang telah dirumuskan oleh para ulama Salaf dan dilestarikan oleh KH. Hasyim Asy`ari sebagaimana tersebut di atas.

Pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab ini sengaja membuat semacam kritikan sekalipun dengan istilah kajian ulang terhadap definisi Aswaja, lantas mereka membuat rumusan Aswaja yang lebih inklusif, dengan tujuan agar warga Aswaja dapat mengakomodir kelompok Syiah atau liberal, bahkan kelompok Salafi dalam definisi Aswaja gaya baru itu.

Untuk itu, perlu kiranya warga Aswaja, khususnya warga Nahdliyyin untuk mewaspadai intrik-intrik dari pihak-pihak `perusak akidah` tersebut dan menolak segala bentuk `kebohongan publik` yang mereka lakukan, sekalipun dikemas dengan bahasa ilmiah menurut standar mereka.

Dewasa ini, banyak tuduhan negatif dari kaum yang mengaku dirinya paling bermanhaj salaf  terhadap umat Islam yang mengadakan tahlilan dan kirim doa kepada ahli kubur, yang dilaksanakan pada hari ke 1, 2, 3 atau hingga hari ke 7, dan pada hari ke 40, 100, 1000, atau pelaksanaan haul tahunan. 

Kaum Salafi mengatakan bahwa waktu-waktu yang dipilih itu adalah hasil konversi dari adat istiadat Hindu yang diadopsi oleh para pengamalnya. Karena itulah kaum Salafi melarang kelompoknya mengikuti tradisi Hindu tersebut.

Untuk menyanggah tuduhan Salafi ini sangatlah mudah. Adat istiadat yang tidak bertentangan dengan ajaran syariat Islam, maka boleh saja diadopsi oleh umat Islam. Contoh, kebiasaan bercelana panjang (pantalon) dengan memakai baju hem dan berdasi adalah adat istiadat si penjajah Belanda sang penyebar agama Kristen di Indonesia. Mereka jika mengadakan ritual agama Kristen di dalam gereja juga menggunakan celana panjang.

Konon, sebagian ulama di masa penjajahan, sempat mengharamkan penggunaan celana panjang bagi umat Islam, dengan dalil man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum (barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka). Karena bercelana pantalon saat itu menyerupai kaum Kristen Belanda, maka dihukumi haram.

Namun pada akhir perkembangan, budaya bercelana panjang pantalon sudah menjadi budaya masyarakat muslim Indonesia, bahkan banyak sekali yang melaksanakan salat pun dengan menggunakan celana panjang (pantalon).

Dasi pun kini sudah menjadi seragam para pegawai perkantoran, maupun anak-anak pelajar sekolah formal setingkat SD, SLTP dan SLTA. Dasi juga menjadi hal yang tidak pernah dipermasalahkan oleh kaum Salafi.

Jika diteliti secara jujur, tidak sedikit kaum Salafi Indonesia yang menggunakan celana panjang pantalon dalam kehidupan sehari-hari, termasuk saat berfatwa di kalangan kelompoknya, bahkan anak-anak mereka juga dimasukkan sekolah formal dengan menggunakan seragam wajib berdasi.

Nabi Muhammad SAW sendiri mengadopsi adat istiadat kaum Yahudi dalam melaksanakan puasa sunnah `Asyura, tapi ditambahi 1 hari (tanggal 9-10 atau 10-11 Muharram) agar tidak sama dengan puasanya Yahudi.

Sebagaimana dalam sejarah disebutkan, tatkala Nabi Muhammad SAW masuk kota Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Lantas beliau Raaulullah bertanya mengapa mereka berpuasa pada tanggal 10 Muharram.

Kaum Yahudi menjawab: Kami berpuasa karena syukur kepada Allah atas diselamatkannya Nabi Musa dari kejaran Firaun pada tanggal 10 Muharram.. ! Maka Nabi Muhammad SAW mengatakan : Sesungguhnya kami lebih berhak bersyukur kepada Allah atas hal itu dari pada kalian .. !

Kemudian Nabi Muhamad SAW perintah kepada umat Islam : Shuumuu yauma `Aasyuura wakhaaliful yahuud, shuumu yauman qablahu au yauman bakdahu (Berpuasa `Asyuura-lah kalian, tapi berbedalah dengan kaum Yahudi, berpuasa jugalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya). HR. Bukhari & Muslim.

Baju koko juga dari budaya China yang mayoritas masyarakatnya beragama Kong Hu Chu dan Atheis, tapi kini menjadi trend sebagai baju muslim dunia.

Kubah masjid dulunya berasal dari kubah gereja kemudian dirubah bentuknya menjadi kubah yang stupa, padahal bentuk stupa juga menjadi salah satu adat rumah ibadah Budha. Sedangkan menara masjid diadopsi dari menara kaum Majusi penyembah api, demikian dan sebagainya.

Karena semua adat istiadat tersebut di atas, tidak bertentangan dengan subtansi syariat, maka hukumnya boleh-boleh saja. Apalagi umat Islam mengisi hari-hari kematian keluarganya pada hari ke 1, 2, 3, 7, 40, 100, 1000, dan haul tahunan, yang sangat berbeda dengan adat kaum Hindu. 

Umat Islam mengisinya dengan membaca Yasin, Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, dzikir-dzikir yang diajarkan Nabi, berdoa mohon ampunan kepada Allah untuk ahli kubur, dan bersedekah.

Jadi sudah sesuai dengan perintah Nabi Muhammad SAW. Bahkan semua isi amalan tahlilan itu subtansinya adalah pengamalan ajaran Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW.

Dirangkum dari kajian Aswaja bersama:

- KH. Luthfi Bashori
- KH. Idrus Ramli
- Buya Yahya Ma`arif.

Penulis : Tawfiq Ndon




Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال